Nama :
An Mutiah Fransiska Rona
Nim
: 2009112184
Semester
: VI.C (enam)
POHON TANPA DAUN
Rasa
GaLau. . .
Rasa
Resah. . .
Dan
Rasa Gelisah. . .
Bergemuru
di dalam Hati....
Tak
dapat berkata, tak dapat juga berucap...
Lidah
ini kakuh.. .
Bibir
ini beku….
jiwa
ini menagis letih....
Letih
karena keangkuhan diri, Letih karena kesombongan malam dan letih karena
sandiwara dunia....
Raga
ini pun menjadi rapuh, seperti kayu yang keropos yang binggung ingin menjadi
apa, yang ragu bisa jadi apa..
.
Ingin
Menjerit tapi siapa yang peduli....
Ingin
Menagis tapi siapa yang mengerti..
.
Ingin
MengeLuh tapi siapa yang tahu...
Akhirnya,,
,
,
Aku
Hanya bisa tertatih di dalam diam ..
Tersenyum
di dalam tanggis ....
Merenung
di dalam malam ...
Dan
Bermimpi di dalam siang...
.
Aku
tak berharap jadi orang kaya...
Tak
berharap juga jadi orang bertatah...
Apalagi
jadi orag yang terhormat...
APA
PUN BENTUK KU NANTI ...
AKU HANYA INGIN MENJADI JELMAAN DARI SEBUAH MIMPI SERTA HARAPAN SEORANG IBU DAN SEORANG AYAH YANG MULAI MERENTA....
BANGUN
KESIANGAN
Tak … Tik… Tuk…
Bunyi detak Jarum jam
berputar …
Sekencang bunyi nafas
ku yang di selimuti malam…
Cak.. Cik… Cuk….
Bunyi suara cicak
merayab…
Seolah membangunkan ku
di dalam lelapnya malam…
Langit dan awan terasa
menyatu…
Seolah menyelimuti ku
di dalam dinginya malam….
Aku pun terbawa ke alam
bawah sadar ku ,,,
Melayang jauh menembus
ruang dan waktu ,,,
Hingga pancaran mentari
membukakan mata ku…
Perlahan ku buka mata…
Ku lihat jam dinding
ku…
.
OhHhh,,,, Tuhan aku
kesiangan hari ini. .
.
Hingga semua harapan ku
mulai memudar bersama pancaran sinar mentari….
Bunga
Teratai Di Gurun Pasir
Terjajah batin membuat
jiwa mati ….
Tapi perjuangan tak
pernah mati walaupun bumi terjajahi ….
Semangat Mu membakar hati
yang memadam…
.
Sentuhan lembut Mu
menyejukan hati yang tak tahu arah …
Rangkaian kata-kata Mu…
Membangunkan jiwa yang
resah dan membangkitkan batin yang gelisah...
Di wajah Mu tergurat
pengharapan untuk melahirkan pemuda-pemudi yang tahu budi seperti mawar tanpa
duri…..
Di benak Mu tersirat keresahan akan nasib bangsa yang
tak berdikari seperti bunga tanpa air …
Di hati Mu tersimpat
pesan untuk para wanita yang berpangku tangan menunggu nasib yang tak tentu
arah seperti badai tanpa angin…
.
Di sini dan saat ini….
Ku coba mewujudkan
mimipi Mu yang mulai memupus….
Ku coba raih harapan Mu
yang mulai memudar…
.
Dan Ku coba gapai angan
Mu yang sempat sirna termakan waktu…
.
Karena bagi ku kau Inspirasi ku…
Karena bagi ku kau
Kebanggan Ku…
Karena bagi ku kau “
KARTINI” di hati ku …
“ Satu jiwa Lima Nyawa”
Ku pandangi langit malam ini terasa sunyi tanpa satu pun
bintang yang menari-nari di atas langit. Sementara aku terus di sini menikmati
dinginya malam tanpa sebutir senyum yang memancar dipipi. Bumi ini terasa
terhenti bersama detak jantung ku yang sedang berpacu melawan dinginnya malam
ini. Pikiran ku terasa kacau, hati ku gunda dan jiwa ku resah. Entah apa yang
sedang aku pikirkan malam ini tapi yang jelas aku benar-benar galau pada saat
ini. Terlalu banyak hal-hal yang terjadi di dalam hidup ini sehingga bibir dan
lidah ini tak mampu lagi untuk berucap dan bersuara walau hanya sepata kata.
Untuk membunuh malam ini aku hidupkan komputer tua warisan ayah dan ku mulai
mencoba menulis serta mengingat segala kejadian yang pernah ku alami yang telah
menghantuhui pikiran ku akhir-akhir ini. Ku rangkai kata demi kata tetapi tetap
saja tak ada kata yang terangkai, lalu ku fokuskan pikiran dan pandangan ku
untuk menghadap ke layar komputer. Ku diam sejenak ku pejamkan mata tergambar
jelas semua kehidupan di masa lalu yang selalu mengetahui jejak langkah ku.
Entah harus dari mana aku memulai tapi yang jelas ku telah mulai untuk merekam
semua kejadian yang tidak mengenakan itu. Berlahan-lahan butir-butiran air mata
ku mulai mengalir tetes demi tetes membasahi pipi ini.
Teringat
jelas di benak ku saat kematian ayah lima tahun yang lalu, pada saat itu usia
ku baru beranjak 14 tahun dan sedang bersemangatnya menyambut kelulusan serta
mempersiapkan diri untuk bisa masuk SMA ternama di daerah ku. semua semangat
dan impian itu terasa memudar bersama
air mata yang terus turun membasahi pipi, di depan jasad ayah tangis ku pecah tak kalah ku melihat wajah ayah yang pucat
pasi terbujur kaku di bungkus kain kafan. Ketiga adik ku hanya bisa tertunduk
lesu menyaksikan kenyatan pahit yang memilukan hati ini. Sedangkan ibu ku
berusaha untuk tegar walaupun ku tahu, jauh di lubuk hatinya yang terdalam dia
sangat terpukul atas meninggalnya suami yang di cintainya itu. Sementara kakak
ku yang keterbelakangan mental hanya bisa terdiam dan menangis penuh arti. Inilah
potret keluarga ku lima tahun yang silam. Semua duka dan kenangan itu masih
tersimpan rapi di dalam hati ini.
Hari ini hari pertama ku mengikuti test
masuk sekolah menegah atas setelah aku lulus SMP. Semua rasa bercampur aduk di
hari ini antara rasa takut, nervous, senang dan sedih bila ku ingat kematian
ayah lima tahun yang lalu. Tapi semua rasa itu cepat-cepat ku tepis dan ku
fokuskan pada lembaran jawaban yang akan ku isi. Ku kerakan seluruh hasil
belajar selama berminggu-minggu untuk menjawab semua pertanyaan yang ada di
lembar soal ini. Hal hasil seperti yang kalian perkirakan aku mampu menjawab seluruh
soal test ini dengan cukup baik. Semenjak ayah meninggal aku selalu bertekad
ingin melakukan yang terbaik demi keluarga ini alasannya karena kini aku telah
menjadi tulang punggung dari keluargaku dan rasa tanggung jawab serta rasa
cinta ku yang teramat besar terhadap keluarga ini.
Aku anak kedua dari empat bersaudara
kakak ku keterbelakang mental, adik-adik ku masih sangat kecil-kecil untuk
menafkahi keluarga ini. Sedangkan ibu ku hanya seorang guru SD yang
berpenghasilan kecil. Hidup kelurga kami saat ini hanya bergantung pada uang
pensiunan ayah dan gaji ibu. Walupun ada tambahan uang, itu hasil kerja keras
ibu banting tulang dari sekolah-kesekolah untuk mengajar jam tambahan. Semua
hal ini sungguh sangat mengiris hati. Pada saat itu juga aku bertekad untuk
selalu melakukan yang terbaik untuk kelurga ini.
Hari
pengumuman kelulusan siswa tahun ajaran baru SMA Negeri 1 Ciamis sudah tiba.
Jatungku berpacu sangat kencang, sekacang lariku menuju papan pengumuman.
Setelah ku lihat urutan-urutan nama siswa yang telah lulus, tepat dipapan
sebelah kanan dengan nomor peserta test 260 atas nama Rina Malajoya Pratiwi.
Dengan rasa senang bercampur rasa haru aku langsung besujud mengucapkan rasa
syukur dan terima kasih kepada Allah Swt atas segalah karunianya. Setelah itu
aku langsung bergegas pulang dan belari sekencang mungkin kepamakaman ayah
untuk memberitahukan kabar gembira ini.
Seakan-akan ayah masih hidup ku bercerita suka duka kehidupan kami
sepeninggalan ayah. Tentang ibu yang terpaksa harus berkerja keras tanpa kenal
lelah dari satu sekolah-kesekolah yang lain. Tentang adik-adik ku yang
berjualan kue-kue dan makanan-makanan ringan di sekolahnya tanpa sepengetahuan
ibu, tentang aku yang habis pulang sekolah menjadi pelayan sebuah tokoh buku di
pasar pelabuhan dan tentang kakak ku dengan segala keterbatasanya serta
kekurang sebagai seorang keterbelakangan mental tapi berusaha untuk keluarganya
dengan menjadi tukang bersih-bersih di masjid AL-Karim yang tidak jauh dari
rumah kami. Semua kisah ini membuat air mata ku tumpah rua dipemakaman ayah.
“Ayah
kau saksikan sendiri bukan ?
Bagaimana
kehidupan kami setelah sepeninggalan mu.
Tapi, “ yah. . .ayah tak usah kuwatir dan tenanglah
di sana karena kami disini mampu menjalani semua sekenario kehidupan yang
dibuat oleh Allah untuk kami.
“Yah. . .aku berjanji, Aku kan belajar sungguh-sungguh
dan berkerja sekeras mungkin untuk keluarga kita dan untuk mewujudkan semua
harapan ayah dan mimpi ayah dengan melihat ku menjadi seorang dokter.
Apakah ayah tidak yakin ku mampu melakukan itu?
Hanya karena ku seorang wanita.
Jika itu iya. . . . Ayah salah karena di benak,
pikiran dan hidupku sudah tertanam satu jiwa lima nyawa.
Ayah tahu apa satu jiwa lima nyawa itu ?
“Satu jiwa lima nyawa itu adalah semboyan hidupku
saat ini yah” disaat ku putus asa, disaat ku bermalas-malasan dan disaat hidup
ku tak ada arah. Aku selalu mengunakan kata-kata ini “ yah, untuk menghidupkan
kembali semangat ku yang sempat memadam. Karena ku tahu di dalam diriku ada
lima nyawa yang bersayam yang sedang mengantungkan hidupnya, masa depannya dan
harapannya di dalam diriku.
“ kalau ayah masih hidup, ayah pasti mengejek ku
dengan segala semboyan dan misi hidupku. Walaupun ku tahu jauh dilubuk hati ayah.
Ayah sangat bangga terhadapat diriku.
“Ayah, aku sangat merindukan sosok dirimu yang
begitu sabar, humoris, peyayang dan tegas.
kau tahu “yah, hal apa yang aku waris dari sikap mu,
yaitu berkerja keras tanpa kenal lelah dan kau tahu “yah, apa yang membedakan
kita jika kau berkerja keras tanpa rasa megeluh sedangkan aku berkerja dengan rasa mengeluh dihati dan
pikiran ku. Tapi aku selalu mencoba untuk seperti diri mu “yah.
Redupnya sinar matahari menyadarkan ku bawah hari ini sudah menjelang
sore. Aku pun terlelap dari pemakaman ayah dan tersadarkan dari semua lamunan
ku. Segera ku ambil tas ku, dan ku bersihkan diri ku, lalu berlari kembali
menujuh rumah. Di depan pintu rumah terlihat ibu dengan raut muka cemas
menunggu ku pulang dari sekolah.
Rin,
Kemana saja kamu, jam segini baru pulang? ibu mencemaskan mu nak, bagaimana
hasil ujian testnya apakah kamu diterima di sekolah Negeri 1 Ciamis?
“Alhamdulillah buk,
Rina di terima di sekolah itu”
Lantas, kenapa kamu baru pulang nak ?
“Rina tadi mampir ke
pemakaman ayah dulu buk”
Nak, ayah mu sudah tenang di sana. Jadi
ikhlaskanlah ayah mu, Jangan kau bebani dia dengan segalah cerita duka kita
selama di tinggalnya.
Dengan
wajah yang tertunduk lesu aku hanya bisa terdiam mendengar segala nasehat ibu.
Waktu terus berputar detik demi detik suara kukuruyuk ayam mulai membagunkan
senja, tak terasa matahari mulai tiba untuk memancarkan senyumannya. Ku tarik
selimutku dan ku bergagas untuk mandi dan mengambil wuduh untuk sholat subuh.
Di balik
pintu dapur terlihat jelas ibu yang sedang memasak sarpan untuk pagi ini,
sedangkan di ruang tamu ku lihat kakak ku sedang bersiap-siap menuju masjid,
walaupun kakak ku keterbelakang mental, sering menjadi ejekan anak-anak kecil
dikampungku tapi aku sangat bangga mempunyai saudara laki-laki seperti dirinya
yang sangat taat sekali kepada agamanya. Kadang-kadang aku sering menangis
melihat kakak ku yang dengan segala keterbatasannya mencoba mengantikan posisi
ayah di dalam keluarga kami. Itu lah yang menjadi salah satu kekuatan ku untuk
memberikan yang terbaik bagi keluarga ini. Aku ingin membuat keluarga ku merasakan
nikmatnya hidup yang berkecukupan walau hanya satu jam saja.
Hari ini,
hari pertama ku masuk sekolah dengan mengenakan seragam putih abu-abu.
HmmmmMm..... walaupun seragam ku tak sebagus dan tak sebaru seperti
teman-temanku tapi aku senang memakai baju putih yang lusu bekas baju putih SMP
ku yang hanya di ganti lambang sekolah dari SMP ke SMA. Apa mau di kata bila
kehidupan terlalu menutut ku untuk hidup hanya sekedarnya saja. Tapi aku
bahagia dengan semua keadaan ini, setidak-tidaknya aku lebih beruntung dari
saudara-saudara ku yang lebih kekurangan dari pada diri ku.
Hari
pertama ku bersekolah aku sudah mempunyai banyak teman dan kenalan, tapi aku
belum tahu mana yang benar-benar akan menjadi teman akrab ku dalam suka maupun
duka. Tapi ada satu orang anak yang bernama Sakinah Zhafirah itu nama
lengkapnya yang sering di panggil dengan panggilan kinah, kinah selalu
bersama-sama dengan ku pada saat MOS selama seminggu ini. Kinah sepertinya anak
orang yang berada pergi sekolah diantar mobil pulang pun di jemput dengan mobil
oleh supir pribadinya. Rasa minder kadang-kadang menghampiri ku tak kala aku
sedang bergurau atau berjalan bersamanya. Dalam hati aku berkata mungkin aku
tak pantas menjadi teman akrabnya. Kinah dengan parasnya yang memang sudah
sangat cantik, di tambah balutan baju-baju yang mahal serta keren-keren memberi
pesona tersendiri pada saat orang-orang menatapnya. bila aku didekat denganya aku
seperti upik abu dan putri raja.
Tapi
sakinah sangat berbedah dengan putri-putri raja pada umunya. Walupun ibu dan
ayahnya seorang pengusaha sukses yang mempunyai banyak usaha di dalam mau pun
di luar negeri. Tapi dia tidak sombong dan mau berteman dengan siapa saja,
buktinya dari begitu banyak orang-orang yang ingin berteman dengannya, dia
lebih memilih aku sebagai temannya. Padahal aku sendiri binggung apa yang
dilihatnya dari gadis miskin seperti aku.
Hari terus
berganti tak terasa sudah satu tahun aku bersekolah di SMA Negeri 1 Ciamis ini
dan sekarang aku telah mempunyai kesibukan tersendiri setelah pulang sekolah,
ketika lonceng tanda pulang di bunyikan, aku langsung pulang dan bergegas untuk
berkerja sebagai pelayan tokoh buku di pasar pelabuhan dekat rumah ku. Menjadi
seorang pelayan tokoh buku memberikan kebahagian tersendiri bagi ku, pertama
aku bisa membaca buku secara geratis di selang sepinya pengunjung, kedua aku
bisa berkerja sambil belajar untuk mempertahan beasiswa serta nilai-nilai ku
yang selama ini aku dapat. Kadang-kadang sakinah sering datang ke tokoh buku ku
untuk bergurau dengan ku atau mengatarkan ku minuman serta makanan dengan alibi
membeli buku. ke dekatan ku dengan Sakinah melebihi kedekatan saudara kandung.
Entah apa
yang harus aku katakan, Sakinah bagi ku seperti malaikat penolong di tengah
redupnya jiwa ku. semenjak sepeninggalan ayah aku selalu serius dalam segala
hal, hingga aku kadang-kadang lupa bagaimana cara untuk tersenyum. Tapi semenjak
aku berteman dengan Sakinah dia mengajarkan ku bagaimana cara terseyum, dia
mengajarkan ku banyak hal mengenai kehidupan, dia membukakan mata ku bahwa
kebahagian di dalam hidup bukan hanya di ukur dengan uang.
Karena aku
dan sakinah sudah cukup lama berteman kami sering membagi cerita suka maupun
duka mengenai kehidupan satu sama lain.
“ Rin, mungkin saat ini kamu melihat aku bahagia
dengan semua yang aku miliki “
Kamu tahu
Rin? Jauh dari semua harta kekayaan serta kemewahan yang aku punya.
Sesungguhnya
ku merasa kesepian dengan segala kemewahan ini, bahkan aku tidak mengenal
bagaimana sosok ayah dan ibu ku sebenarnya. Mereka sibuk dengan usaha dan
bisnis mereka masing-masing. Aku dan kakak ku dibesarkan dari tanggan seorang
pembantu bukan dari tanggan lembut seorang ibu. Aku terkadang iri dengan diri
mu Rin, selalu ada yang mencemaskan mu ketika kamu pulang telambat, selalu yang
ada membuatkan mu sarpan ketika mata mu mulai terbuka, selalu ada tempat untuk
bersadar dan mencurahkan isi hati dikalah kamu lelah.
Tapi aku
dan kaka ku?
Ibu dan
ayah ku pulang kerumah sebulan sekali itu pun mereka masih sibuk dengan segala
pekerjaan mereka, hingga tak pernah ada waktu untuk mendengarkan keluh kesah
dari kami anak-anaknya dan tak pernah ada kesempatan untuk menghabiskan waktu
berlama-lama bersama aku dan kakak ku. hal hasil karena pergaulan bebas dan
kurangnya bimbangan dari orang tua, kakak ku mati oper dosis (OD) “ Rin,
kejadian ini sungguh sangat memilukan hati ku “ kak Dimas yang selalu menjaga
ku, menemani hari-hari ku, tempat ku berbagi keluh kesah dan mencurahkan isi
hati, kini telah pergi selama-selamanya menghadap yang kuasa. Pada saat itu aku
tidak tahu lagi siapa keluarga ku.
Semenjak
kejadian itu aku berharap kedua orang tua ku dapan berubah lebih sedikit
perhatian kepada ku sebagai anak satu-satunya semenjak “ kak Dimas meninggal.
Tapi harapan dan doa ku pupus tak sesuai dengan kenyataan yang ada. Orang tua
ku tetap sibuk dengan segala pekerjaannya bahkan lebih sibuk dari sebelum kak
Dimas meninggal, karena bisnis mereka kini semakin berkembang. Bagi orang tua
ku karier dan uang adalah segala-galanya bagi mereka, mungkin mereka berpikir
bahwa aku dan kak Dimas akan bahagia dengan segala harta yang kami miliki, tapi
mereka salah Rin. Aku dan kak Dimas sama sekali tidak merasa bahagia dengan
semua kekayaan kami, hidup kami seperti sepasang kaki yang pincang, walaupun di
hiasi dengan sepatu kaca yang mewah, cacat dan picangnya masih akan keliatan.
Mendengar
semua curahan isi hati Sakinah, aku mulai tersadar bahwa Sakinah yang aku nilai
bahagia dan lebih beruntung dari pada diri ku, hanya karena hartanya ternyatah
mempunyai kisah hidup yang cukup memperihatinkan dan memilukan.
Aku mulai berpikir bahwa kehidupan ini tak
jauh dari uang dan cinta. Mengatas namakan uang serta materi di atas segalanya
pastinya kurang baik karena kebahagian seorang manusia bukan hanya di ukur dari
seberapa banyak materi yang dia punya.
Tapi
menjalani hidup hanya sekedar cinta tanpa sebuah landasan yang jelas seperti
rumah tanpa pondasi. Akan mudah sekali rapuh dan hancur bila di terjang angin.
Semenjak
Sakinah mencurahkan isi hatinya kepada ku, aku mulai bisa berdamai dengan masa
lalu dan sangat bersyukur dengan keadaan yang aku miliki saat ini, walupun
hidup ku dan keluarga ku tak sekaya dan tak semewah keluarga Sakinah, tapi
setidak-tidaknya keluarga kami kaya akan kasih sayang dan rasa cinta.
Terkadang
kita sering menilai tuhan tidak adil hanya karena cobaan dan ujian yang begitu
berat yang dia berikan kepada kita umatnya. Tapi kita hanya melihat itu semua
melalui mata tidak di sertai dengan hati, kita hanya melihat dengan satu sisi
tidak pernah mencernanya dengan
sisi-sisi lain, bukankah tuhan tidak akan memberi cobaan kepada umatnya melampaui
batas kemampuannya.
Tapi
mengapa kita harus mengeluh dan merasa lelah ketika cobaan itu datang? Bukankah
tuhan tidak pernah mengeluh dan bosan mengasihi kita, mendengarkan segala keluh
kesah kita, mengampuni segala dosa dan kesahalan kita.
Bulan
berganti tahun, malam berganti siang dan waktu berlalu begitu saja, tak terasa
sudah tiga tahun aku lewati waktu bersama sahabat terbaik ku Sakinah Zhafira di
masa-masa SMA dan kini kami telah di ambang sebuah perpisahan karena Sakinah
ingin meneruskan kuliahnya di University of London sedangkan aku sendiri dengan
segala kerja keras dan semboyan hidup ku yaitu satu jiwa lima nyawa aku
berhasil mendapatkan beasiswa untuk masuk fakultas kedokteran Universitas
Indonesia.
Hari-hari
yang di nanti akhirnya terjadi aku dengan rasa berat hati mengantarkan Sakinah
ke Bandara Sukarno Hatta di temani kedua orang tua Sakinah. Sebelum Sakinah
masuk pesawat kami berpelukan sangat erat hingga aku menetaskan air mata, kami
pun berjanji untuk saling berkirim kabar dan tetap saling mendukung satu sama
lain.
Setelah
kepergian Sakinah, aku sangat menikmati dunia baru ku untuk menjadi seorang
dokter mewujudkan semua mimpi dan harapan ayah. Aku ingin membuktikan kepada
dunia bahwa segala keterbatasan dan himpitan ekonomi tidak menjadi penghalang
untuk mewujudkan semua mimpi yang sempat memudar karena apa yang tidak mungkin
di dalam kehidupan jika kita mau berusaha dan bersabar untuk menanamkan
semboyan satu jiwa lima nyawa, bahwa di dalam
jiwa seseorang manusia sebenarnya banyak sekali nyawa-nyawa yang sedang
mengantungkan hidup, masa depan serta
harpan mereka untuk kebaikan hidup kita di masa yang akan datang. Jadi
bermimpi la setinggi-tinggi mungkin kerakan semua semangat mu sekeras mungkin
tak peduli walaupun harus berkeringat darah, tak peduli harus bermandikan air
mata karena kepahitan hidup dapat menjadi api yang membakar semangat di dalam
jiwa yang hina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar