Kamis, 12 April 2012

Menulis Karya Sastra (An Mutiah Fransiska Rona)



Nama              :  An Mutiah Fransiska Rona
Nim                 :  2009112184
Semester         : VI.C (enam)


POHON TANPA DAUN




Rasa GaLau. . .
Rasa Resah. . .
Dan Rasa Gelisah. . .
Bergemuru di dalam Hati....
Tak dapat berkata, tak dapat juga berucap...
Lidah ini kakuh.. .

Bibir ini beku….
jiwa ini menagis letih....
Letih karena keangkuhan diri, Letih karena kesombongan malam dan letih karena sandiwara dunia....
Raga ini pun menjadi rapuh, seperti kayu yang keropos yang binggung ingin menjadi apa, yang ragu bisa jadi apa..
.
Ingin Menjerit tapi siapa yang peduli....
Ingin Menagis tapi siapa yang mengerti..
.
Ingin MengeLuh tapi siapa yang tahu...
Akhirnya,,
,
Aku Hanya bisa tertatih di dalam diam ..
Tersenyum di dalam tanggis ....
Merenung di dalam malam ...
Dan Bermimpi di dalam siang...
.
Aku tak berharap jadi orang kaya...
Tak berharap juga jadi orang bertatah...
Apalagi jadi orag yang terhormat...
APA PUN BENTUK KU NANTI ...

AKU HANYA INGIN MENJADI JELMAAN DARI SEBUAH MIMPI SERTA HARAPAN SEORANG IBU DAN SEORANG AYAH YANG MULAI MERENTA....



BANGUN KESIANGAN

Tak … Tik… Tuk…

Bunyi detak Jarum jam berputar …

Sekencang bunyi nafas ku yang di selimuti malam…

Cak.. Cik… Cuk….

Bunyi suara cicak merayab…

Seolah membangunkan ku di dalam lelapnya malam…

Langit dan awan terasa menyatu…

Seolah menyelimuti ku di dalam dinginya malam….

Aku pun terbawa ke alam bawah sadar ku ,,,

Melayang jauh menembus ruang dan waktu ,,,

Hingga pancaran mentari membukakan mata ku…

Perlahan ku buka mata…

Ku lihat jam dinding ku…
.
OhHhh,,,, Tuhan aku kesiangan hari ini. . 
.
Hingga semua harapan ku mulai memudar bersama pancaran sinar mentari….




Bunga Teratai Di Gurun Pasir




Terjajah batin membuat jiwa mati ….

Tapi perjuangan tak pernah mati walaupun bumi terjajahi ….

Semangat Mu membakar hati yang memadam…
.
Sentuhan lembut Mu menyejukan hati yang tak tahu arah …

Rangkaian kata-kata Mu…

Membangunkan jiwa yang resah dan membangkitkan batin yang gelisah...

Di wajah Mu tergurat pengharapan untuk melahirkan pemuda-pemudi yang tahu budi seperti mawar tanpa duri…..

Di benak  Mu tersirat keresahan akan nasib bangsa yang tak berdikari seperti bunga tanpa air …

Di hati Mu tersimpat pesan untuk para wanita yang berpangku tangan menunggu nasib yang tak tentu arah seperti badai tanpa angin…
.
Di sini dan saat ini….

Ku coba mewujudkan mimipi Mu yang mulai memupus….

Ku coba raih harapan Mu yang mulai memudar…
.
Dan Ku coba gapai angan Mu yang sempat sirna termakan waktu…
.
Karena bagi ku kau  Inspirasi ku…

Karena bagi ku kau Kebanggan Ku…

Karena bagi ku kau “ KARTINI” di hati ku …






Satu jiwa Lima Nyawa

     Ku pandangi  langit malam ini terasa sunyi tanpa satu pun bintang yang menari-nari di atas langit. Sementara aku terus di sini menikmati dinginya malam tanpa sebutir senyum yang memancar dipipi. Bumi ini terasa terhenti bersama detak jantung ku yang sedang berpacu melawan dinginnya malam ini. Pikiran ku terasa kacau, hati ku gunda dan jiwa ku resah. Entah apa yang sedang aku pikirkan malam ini tapi yang jelas aku benar-benar galau pada saat ini. Terlalu banyak hal-hal yang terjadi di dalam hidup ini sehingga bibir dan lidah ini tak mampu lagi untuk berucap dan bersuara walau hanya sepata kata. Untuk membunuh malam ini aku hidupkan komputer tua warisan ayah dan ku mulai mencoba menulis serta mengingat segala kejadian yang pernah ku alami yang telah menghantuhui pikiran ku akhir-akhir ini. Ku rangkai kata demi kata tetapi tetap saja tak ada kata yang terangkai, lalu ku fokuskan pikiran dan pandangan ku untuk menghadap ke layar komputer. Ku diam sejenak ku pejamkan mata tergambar jelas semua kehidupan di masa lalu yang selalu mengetahui jejak langkah ku. Entah harus dari mana aku memulai tapi yang jelas ku telah mulai untuk merekam semua kejadian yang tidak mengenakan itu. Berlahan-lahan butir-butiran air mata ku mulai mengalir tetes demi tetes membasahi pipi ini.
       Teringat jelas di benak ku saat kematian ayah lima tahun yang lalu, pada saat itu usia ku baru beranjak 14 tahun dan sedang bersemangatnya menyambut kelulusan serta mempersiapkan diri untuk bisa masuk SMA ternama di daerah ku. semua semangat dan impian  itu terasa memudar bersama air mata yang terus turun membasahi pipi, di depan jasad ayah tangis ku  pecah tak kalah ku melihat wajah ayah yang pucat pasi terbujur kaku di bungkus kain kafan. Ketiga adik ku hanya bisa tertunduk lesu menyaksikan kenyatan pahit yang memilukan hati ini. Sedangkan ibu ku berusaha untuk tegar walaupun ku tahu, jauh di lubuk hatinya yang terdalam dia sangat terpukul atas meninggalnya suami yang di cintainya itu. Sementara kakak ku yang keterbelakangan mental hanya bisa terdiam dan menangis penuh arti. Inilah potret keluarga ku lima tahun yang silam. Semua duka dan kenangan itu masih tersimpan rapi di dalam hati ini.
          Hari ini hari pertama ku mengikuti test masuk sekolah menegah atas setelah aku lulus SMP. Semua rasa bercampur aduk di hari ini antara rasa takut, nervous, senang dan sedih bila ku ingat kematian ayah lima tahun yang lalu. Tapi semua rasa itu cepat-cepat ku tepis dan ku fokuskan pada lembaran jawaban yang akan ku isi. Ku kerakan seluruh hasil belajar selama berminggu-minggu untuk menjawab semua pertanyaan yang ada di lembar soal ini. Hal hasil seperti yang kalian perkirakan aku mampu menjawab seluruh soal test ini dengan cukup baik. Semenjak ayah meninggal aku selalu bertekad ingin melakukan yang terbaik demi keluarga ini alasannya karena kini aku telah menjadi tulang punggung dari keluargaku dan rasa tanggung jawab serta rasa cinta ku yang teramat besar terhadap keluarga ini.
         Aku anak kedua dari empat bersaudara kakak ku keterbelakang mental, adik-adik ku masih sangat kecil-kecil untuk menafkahi keluarga ini. Sedangkan ibu ku hanya seorang guru SD yang berpenghasilan kecil. Hidup kelurga kami saat ini hanya bergantung pada uang pensiunan ayah dan gaji ibu. Walupun ada tambahan uang, itu hasil kerja keras ibu banting tulang dari sekolah-kesekolah untuk mengajar jam tambahan. Semua hal ini sungguh sangat mengiris hati. Pada saat itu juga aku bertekad untuk selalu melakukan yang terbaik untuk kelurga ini.
        Hari pengumuman kelulusan siswa tahun ajaran baru SMA Negeri 1 Ciamis sudah tiba. Jatungku berpacu sangat kencang, sekacang lariku menuju papan pengumuman. Setelah ku lihat urutan-urutan nama siswa yang telah lulus, tepat dipapan sebelah kanan dengan nomor peserta test 260 atas nama Rina Malajoya Pratiwi. Dengan rasa senang bercampur rasa haru aku langsung besujud mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada Allah Swt atas segalah karunianya. Setelah itu aku langsung bergegas pulang dan belari sekencang mungkin kepamakaman ayah untuk memberitahukan kabar gembira ini.
       Seakan-akan ayah masih hidup ku bercerita suka duka kehidupan kami sepeninggalan ayah. Tentang ibu yang terpaksa harus berkerja keras tanpa kenal lelah dari satu sekolah-kesekolah yang lain. Tentang adik-adik ku yang berjualan kue-kue dan makanan-makanan ringan di sekolahnya tanpa sepengetahuan ibu, tentang aku yang habis pulang sekolah menjadi pelayan sebuah tokoh buku di pasar pelabuhan dan tentang kakak ku dengan segala keterbatasanya serta kekurang sebagai seorang keterbelakangan mental tapi berusaha untuk keluarganya dengan menjadi tukang bersih-bersih di masjid AL-Karim yang tidak jauh dari rumah kami. Semua kisah ini membuat air mata ku tumpah rua dipemakaman ayah.
      “Ayah kau saksikan sendiri bukan ?
 Bagaimana kehidupan kami setelah sepeninggalan mu.
Tapi, “ yah. . .ayah tak usah kuwatir dan tenanglah di sana karena kami disini mampu menjalani semua sekenario kehidupan yang dibuat oleh Allah untuk kami.
“Yah. . .aku berjanji, Aku kan belajar sungguh-sungguh dan berkerja sekeras mungkin untuk keluarga kita dan untuk mewujudkan semua harapan ayah dan mimpi ayah dengan melihat ku menjadi seorang dokter.
Apakah ayah tidak yakin ku mampu melakukan itu? Hanya karena ku seorang wanita.
Jika itu iya. . . . Ayah salah karena di benak, pikiran dan hidupku sudah tertanam satu jiwa lima nyawa.
Ayah tahu apa satu jiwa lima nyawa itu ?
“Satu jiwa lima nyawa itu adalah semboyan hidupku saat ini yah” disaat ku putus asa, disaat ku bermalas-malasan dan disaat hidup ku tak ada arah. Aku selalu mengunakan kata-kata ini “ yah, untuk menghidupkan kembali semangat ku yang sempat memadam. Karena ku tahu di dalam diriku ada lima nyawa yang bersayam yang sedang mengantungkan hidupnya, masa depannya dan harapannya di dalam diriku.
“ kalau ayah masih hidup, ayah pasti mengejek ku dengan segala semboyan dan misi hidupku. Walaupun ku tahu jauh dilubuk hati ayah. Ayah sangat bangga terhadapat diriku.
“Ayah, aku sangat merindukan sosok dirimu yang begitu sabar, humoris, peyayang dan tegas.
kau tahu “yah, hal apa yang aku waris dari sikap mu, yaitu berkerja keras tanpa kenal lelah dan kau tahu “yah, apa yang membedakan kita jika kau berkerja keras tanpa rasa megeluh sedangkan aku  berkerja dengan rasa mengeluh dihati dan pikiran ku. Tapi aku selalu mencoba untuk seperti diri mu “yah.
       Redupnya sinar matahari menyadarkan ku bawah hari ini sudah menjelang sore. Aku pun terlelap dari pemakaman ayah dan tersadarkan dari semua lamunan ku. Segera ku ambil tas ku, dan ku bersihkan diri ku, lalu berlari kembali menujuh rumah. Di depan pintu rumah terlihat ibu dengan raut muka cemas menunggu ku pulang dari sekolah.
      Rin, Kemana saja kamu, jam segini baru pulang? ibu mencemaskan mu nak, bagaimana hasil ujian testnya apakah kamu diterima di sekolah Negeri 1 Ciamis?
“Alhamdulillah buk, Rina di terima di sekolah itu”
  Lantas, kenapa kamu baru pulang nak ?
“Rina tadi mampir ke pemakaman ayah dulu buk”
  Nak, ayah mu sudah tenang di sana. Jadi ikhlaskanlah ayah mu, Jangan kau bebani dia dengan segalah cerita duka kita selama di tinggalnya.
      Dengan wajah yang tertunduk lesu aku hanya bisa terdiam mendengar segala nasehat ibu. Waktu terus berputar detik demi detik suara kukuruyuk ayam mulai membagunkan senja, tak terasa matahari mulai tiba untuk memancarkan senyumannya. Ku tarik selimutku dan ku bergagas untuk mandi dan mengambil wuduh untuk sholat subuh.
    Di balik pintu dapur terlihat jelas ibu yang sedang memasak sarpan untuk pagi ini, sedangkan di ruang tamu ku lihat kakak ku sedang bersiap-siap menuju masjid, walaupun kakak ku keterbelakang mental, sering menjadi ejekan anak-anak kecil dikampungku tapi aku sangat bangga mempunyai saudara laki-laki seperti dirinya yang sangat taat sekali kepada agamanya. Kadang-kadang aku sering menangis melihat kakak ku yang dengan segala keterbatasannya mencoba mengantikan posisi ayah di dalam keluarga kami. Itu lah yang menjadi salah satu kekuatan ku untuk memberikan yang terbaik bagi keluarga ini. Aku ingin membuat keluarga ku merasakan nikmatnya hidup yang berkecukupan walau hanya satu jam saja.
      Hari ini, hari pertama ku masuk sekolah dengan mengenakan seragam putih abu-abu. HmmmmMm..... walaupun seragam ku tak sebagus dan tak sebaru seperti teman-temanku tapi aku senang memakai baju putih yang lusu bekas baju putih SMP ku yang hanya di ganti lambang sekolah dari SMP ke SMA. Apa mau di kata bila kehidupan terlalu menutut ku untuk hidup hanya sekedarnya saja. Tapi aku bahagia dengan semua keadaan ini, setidak-tidaknya aku lebih beruntung dari saudara-saudara ku yang lebih kekurangan dari pada diri ku.
      Hari pertama ku bersekolah aku sudah mempunyai banyak teman dan kenalan, tapi aku belum tahu mana yang benar-benar akan menjadi teman akrab ku dalam suka maupun duka. Tapi ada satu orang anak yang bernama Sakinah Zhafirah itu nama lengkapnya yang sering di panggil dengan panggilan kinah, kinah selalu bersama-sama dengan ku pada saat MOS selama seminggu ini. Kinah sepertinya anak orang yang berada pergi sekolah diantar mobil pulang pun di jemput dengan mobil oleh supir pribadinya. Rasa minder kadang-kadang menghampiri ku tak kala aku sedang bergurau atau berjalan bersamanya. Dalam hati aku berkata mungkin aku tak pantas menjadi teman akrabnya. Kinah dengan parasnya yang memang sudah sangat cantik, di tambah balutan baju-baju yang mahal serta keren-keren memberi pesona tersendiri pada saat orang-orang  menatapnya. bila aku didekat denganya aku seperti upik abu dan putri raja.
    Tapi sakinah sangat berbedah dengan putri-putri raja pada umunya. Walupun ibu dan ayahnya seorang pengusaha sukses yang mempunyai banyak usaha di dalam mau pun di luar negeri. Tapi dia tidak sombong dan mau berteman dengan siapa saja, buktinya dari begitu banyak orang-orang yang ingin berteman dengannya, dia lebih memilih aku sebagai temannya. Padahal aku sendiri binggung apa yang dilihatnya dari gadis miskin seperti aku.
    Hari terus berganti tak terasa sudah satu tahun aku bersekolah di SMA Negeri 1 Ciamis ini dan sekarang aku telah mempunyai kesibukan tersendiri setelah pulang sekolah, ketika lonceng tanda pulang di bunyikan, aku langsung pulang dan bergegas untuk berkerja sebagai pelayan tokoh buku di pasar pelabuhan dekat rumah ku. Menjadi seorang pelayan tokoh buku memberikan kebahagian tersendiri bagi ku, pertama aku bisa membaca buku secara geratis di selang sepinya pengunjung, kedua aku bisa berkerja sambil belajar untuk mempertahan beasiswa serta nilai-nilai ku yang selama ini aku dapat. Kadang-kadang sakinah sering datang ke tokoh buku ku untuk bergurau dengan ku atau mengatarkan ku minuman serta makanan dengan alibi membeli buku. ke dekatan ku dengan Sakinah melebihi kedekatan saudara kandung.
     Entah apa yang harus aku katakan, Sakinah bagi ku seperti malaikat penolong di tengah redupnya jiwa ku. semenjak sepeninggalan ayah aku selalu serius dalam segala hal, hingga aku kadang-kadang lupa bagaimana cara untuk tersenyum. Tapi semenjak aku berteman dengan Sakinah dia mengajarkan ku bagaimana cara terseyum, dia mengajarkan ku banyak hal mengenai kehidupan, dia membukakan mata ku bahwa kebahagian di dalam hidup bukan hanya di ukur dengan uang.
    Karena aku dan sakinah sudah cukup lama berteman kami sering membagi cerita suka maupun duka mengenai kehidupan satu sama lain.
“ Rin, mungkin saat ini kamu melihat aku bahagia dengan semua yang aku miliki “
 Kamu tahu Rin? Jauh dari semua harta kekayaan serta kemewahan yang aku punya.
     Sesungguhnya ku merasa kesepian dengan segala kemewahan ini, bahkan aku tidak mengenal bagaimana sosok ayah dan ibu ku sebenarnya. Mereka sibuk dengan usaha dan bisnis mereka masing-masing. Aku dan kakak ku dibesarkan dari tanggan seorang pembantu bukan dari tanggan lembut seorang ibu. Aku terkadang iri dengan diri mu Rin, selalu ada yang mencemaskan mu ketika kamu pulang telambat, selalu yang ada membuatkan mu sarpan ketika mata mu mulai terbuka, selalu ada tempat untuk bersadar dan mencurahkan isi hati dikalah kamu lelah.
     Tapi aku dan kaka ku?
    Ibu dan ayah ku pulang kerumah sebulan sekali itu pun mereka masih sibuk dengan segala pekerjaan mereka, hingga tak pernah ada waktu untuk mendengarkan keluh kesah dari kami anak-anaknya dan tak pernah ada kesempatan untuk menghabiskan waktu berlama-lama bersama aku dan kakak ku. hal hasil karena pergaulan bebas dan kurangnya bimbangan dari orang tua, kakak ku mati oper dosis (OD) “ Rin, kejadian ini sungguh sangat memilukan hati ku “ kak Dimas yang selalu menjaga ku, menemani hari-hari ku, tempat ku berbagi keluh kesah dan mencurahkan isi hati, kini telah pergi selama-selamanya menghadap yang kuasa. Pada saat itu aku tidak tahu lagi siapa keluarga ku.
    Semenjak kejadian itu aku berharap kedua orang tua ku dapan berubah lebih sedikit perhatian kepada ku sebagai anak satu-satunya semenjak “ kak Dimas meninggal. Tapi harapan dan doa ku pupus tak sesuai dengan kenyataan yang ada. Orang tua ku tetap sibuk dengan segala pekerjaannya bahkan lebih sibuk dari sebelum kak Dimas meninggal, karena bisnis mereka kini semakin berkembang. Bagi orang tua ku karier dan uang adalah segala-galanya bagi mereka, mungkin mereka berpikir bahwa aku dan kak Dimas akan bahagia dengan segala harta yang kami miliki, tapi mereka salah Rin. Aku dan kak Dimas sama sekali tidak merasa bahagia dengan semua kekayaan kami, hidup kami seperti sepasang kaki yang pincang, walaupun di hiasi dengan sepatu kaca yang mewah, cacat dan picangnya masih akan keliatan.
    Mendengar semua curahan isi hati Sakinah, aku mulai tersadar bahwa Sakinah yang aku nilai bahagia dan lebih beruntung dari pada diri ku, hanya karena hartanya ternyatah mempunyai kisah hidup yang cukup memperihatinkan dan memilukan.
     Aku mulai berpikir bahwa kehidupan ini tak jauh dari uang dan cinta. Mengatas namakan uang serta materi di atas segalanya pastinya kurang baik karena kebahagian seorang manusia bukan hanya di ukur dari seberapa banyak materi yang dia punya.
      Tapi menjalani hidup hanya sekedar cinta tanpa sebuah landasan yang jelas seperti rumah tanpa pondasi. Akan mudah sekali rapuh dan hancur bila di terjang angin.
      Semenjak Sakinah mencurahkan isi hatinya kepada ku, aku mulai bisa berdamai dengan masa lalu dan sangat bersyukur dengan keadaan yang aku miliki saat ini, walupun hidup ku dan keluarga ku tak sekaya dan tak semewah keluarga Sakinah, tapi setidak-tidaknya keluarga kami kaya akan kasih sayang dan rasa cinta.
     Terkadang kita sering menilai tuhan tidak adil hanya karena cobaan dan ujian yang begitu berat yang dia berikan kepada kita umatnya. Tapi kita hanya melihat itu semua melalui mata tidak di sertai dengan hati, kita hanya melihat dengan satu sisi tidak pernah  mencernanya dengan sisi-sisi lain, bukankah tuhan tidak akan memberi cobaan kepada umatnya melampaui batas kemampuannya.
    Tapi mengapa kita harus mengeluh dan merasa lelah ketika cobaan itu datang? Bukankah tuhan tidak pernah mengeluh dan bosan mengasihi kita, mendengarkan segala keluh kesah kita, mengampuni segala dosa dan kesahalan kita.
    Bulan berganti tahun, malam berganti siang dan waktu berlalu begitu saja, tak terasa sudah tiga tahun aku lewati waktu bersama sahabat terbaik ku Sakinah Zhafira di masa-masa SMA dan kini kami telah di ambang sebuah perpisahan karena Sakinah ingin meneruskan kuliahnya di University of London sedangkan aku sendiri dengan segala kerja keras dan semboyan hidup ku yaitu satu jiwa lima nyawa aku berhasil mendapatkan beasiswa untuk masuk fakultas kedokteran Universitas Indonesia.
   Hari-hari yang di nanti akhirnya terjadi aku dengan rasa berat hati mengantarkan Sakinah ke Bandara Sukarno Hatta di temani kedua orang tua Sakinah. Sebelum Sakinah masuk pesawat kami berpelukan sangat erat hingga aku menetaskan air mata, kami pun berjanji untuk saling berkirim kabar dan tetap saling mendukung satu sama lain.
   Setelah kepergian Sakinah, aku sangat menikmati dunia baru ku untuk menjadi seorang dokter mewujudkan semua mimpi dan harapan ayah. Aku ingin membuktikan kepada dunia bahwa segala keterbatasan dan himpitan ekonomi tidak menjadi penghalang untuk mewujudkan semua mimpi yang sempat memudar karena apa yang tidak mungkin di dalam kehidupan jika kita mau berusaha dan bersabar untuk menanamkan semboyan satu jiwa lima nyawa, bahwa di dalam  jiwa seseorang manusia sebenarnya banyak sekali nyawa-nyawa yang sedang mengantungkan hidup, masa depan serta  harpan mereka untuk kebaikan hidup kita di masa yang akan datang. Jadi bermimpi la setinggi-tinggi mungkin kerakan semua semangat mu sekeras mungkin tak peduli walaupun harus berkeringat darah, tak peduli harus bermandikan air mata karena kepahitan hidup dapat menjadi api yang membakar semangat di dalam jiwa yang hina.
   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar